Selasa, 03 Januari 2012

::KU TITIPKAN CINTAKU PADA LEMBAYUNG::

           
        Peluit masinis mulai berteriak menandakan kereta akan segera berangkat. Tepat pukul 21.00.WIB. Mutiara Ekspres akan segera diberangkatkan. Mas Ron masih berdiri di pintu kereta, ku lambaikan tanganku sambil ku katakan,”sudahlah mas duduk, kereta segera berangkat !”. Mas Ron menjawab,”nggak mau…… aku masih ingin memandang wajahmu, aku ingin kau tetap tersenyum padaku sampai keretaku menghilang dari pandangan !”  Kulihat matanya berkaca -kaca, menahan air mata yang membahana. Tanganku digenggamnya erat-erat seolah tak mau dilepas lagi. Perlahan kereta mulai bergerak, aku berlari kecil, karena tanganku masih digenggamnya. Air mataku mulai jatuh satu – satu, dan perlahan – lahan dilepasnya tangan ini, walau dengan berat hati. Airmataku semakin deras mengalir, dan lambaian tanganku tak berhenti hingga kereta hilang dari pandangan mataku.

            Sekujur tubuhku serasa tak bertulang, lunglai lemas seluruh sendiku, hingga ku tak dapat berjalan lagi. Aku terduduk di peron kereta Blambangan, terdiam, membisu dengan berbagai rasa dan asa. Mas Ron adalah pria pertama yang singgah dihatiku, mendiami seluruh aliran darah cintaku. Perlahan ku buka sepucuk surat bersampul biru, ternyata baris – baris puisi yang tertulis rapi.

Dear : Rindu kekasihku,

Ssssstttttttttt…………… jangan bersedih,,,,,
Cup……cup…..cup…… jangan menangis,,,, 
Sudahlah sudah hapus air mata yang mengalir
Tersenyumlah sayang…………………………..
Rindu kekasihku…………………………………..
Ku titipkan segenap rasa dan cintaku pada sukmamu
Ku ukir harapku pada jiwa tenang dihatimu
Ku tulis kesetianku di setiap desah nafasmu
Ku lukis wajah dan senyumku di setiap detak jantungmu
Ku ingin cintamu……………
Ku harap tulus di hatimu……………..
Ku ikat kesetianmu di hatiku………………….
Ku ingin jangan pernah lupakan aku………………
Karenamu Rindu, kau kekasih hatiku…………………………….

 Blambangan, 8 Mei 1998

RONI

            Mataku masih sembab, rasanya aku tak mau beranjak pulang, karena aku masih mengenang sekelumit kenangan saat perpisahan. “mas Ron, mengapa harus merantau ke Borneo? Esok hari keretamu tiba  di  Surabaya,  dan jam  10.00  WIB   pesawat   Garuda   Air   akan membawamu terbang jauh!”  Tiba – tiba Veni sahabatku menepuk punggungku, “sudahlah, jangan bersedih terus, hapus air matamu, dan saatnya tersenyum….” Rindu, ayo kita pulang!”kata Veni.” Karena malam merayap perlahan dan semakin larut, aku dan veni bergegas pulang ke rumah.

             Ku rebahkan tubuh ini dengan segala macam perasaan yang berkecamuk dalam hati, bayang wajahmu, senyummu, manis tutur katamu, genggaman tanganmu yang syahdu dan penuh haru, membuatku semakin gelisah tak menentu, hingga ku tak mampu memejamkan mata, padahal aku berharap dapat tertidur pulas dan bermimpi bertemu dengan mas Ron ku. “Mungkinkah kita dapat bertemu kembali?” hanya waktu yang akan menjawab semuanya, biarkanlah mengalir apa adanya, tanpa rekayasa dan tanpa di paksa –
Paksa. “Tuhan…… apakah dia ditakdirkan untukku?”
Hari – hari berlalu tanpa permisi, diri ini masih tak kunjung bersemangat lagi. Sepuluh hari telah berlalu, ku tunggu suratmu tanpa jemu. Tiba – tiba “kring ….. kring…. Pos……” Aku bergegas lari menghampiri pak pos , kata pak pos,”Rindu?” yap, betul, “kataku.” Ku terima sepucuk surat bersampul biru, bahagiaku menelusup dalam kalbu. Perlahan ku buka sampul biru dengan segenap hati.

Dear : Rindu kekasihku
           
            Seumpama kau tahu, betapa aku sangat merindukanmu, mungkin kau tak akan pernah mengizinkan aku untuk pergi jauh merantau demi karirku.  Seandainya kau tahu, betapa sepi terus merayapi hati dan hari – hariku, mungkin kau tak akan pernah merelakan aku meninggalkanmu. Ku harap adaku di hatimu tetap melekat hingga ku penuhi janji – janjiku, tuk mempersuntingmu menjadi ratuku.        
            Do’a ku panjatkan selalu untuk segala kekuatan di segenap jiwa dan hatimu, agar kekuatan dan kesetianmu  mampu   tuk    terus menungguku. Jika ada gerimis, lihatlah keluar akan ada lembayung di langit biru dan kutitipkan cintaku untukmu.  

Borneo, 11 Mei 1998

Roni, kekasihmu

             Belum selesai ku lipat surat itu, tiba –tiba “Rindu…. Rindu…..” tuh dipanggil ayah, “kata ibu”. “ya sebentar bu,”kataku”. Ku hampiri ayah di beranda rumah,”Rindu ayah, ada apa?””duduklah nak, gini Rindu, kalau tidak ada perubahan insyaallah akhir bulan ini ayah akan mengantarmu ke Bogor untuk melanjutkan studimu.” “ Rindu kuliah di sana dan akan tinggal di pesantren Al Hikmah Annajiyah di cibinong, Bogor”. Sejenak aku terdiam,”pesantren?”katakulirih”.
Kemudian ku katakan pada ayah, ” ma’af  ayah,  bagaimana  bisa,  Rindu  kan  gak punya basic agama ayah?” lalu aku terdiam bisu.
”Dari SD, SMP, SMA – IPA, sekarang kuliah jurusan Dakwah, dan tinggal di pesantren pula, apa mungkin Rindu bisa  ayah?” Ayah hanya tersenyum dan menganguk – anggukkan kepala,                                                 Aku hanya diam , tak bisa ku katan “tidak” pada ayahku, karena aku bukan tipikal pembantah atau pemberontak.

           Minggu pagi ini aku akan berangkat ke Jakarta dengan kereta Bima, kemudian melanjutkan perjalanan ke bogor, tepatnya di Pesantren Al Hikmah Annajiyah. Setelah perjalanan melelahkan dua hari satu malam di kendaraan, tibalah aku di pesantren yang dituju. Kemudian ayah menemui Kyai Abdul Salim pimpinan pondok pesantren tersebut. Perbincangan demi perbincangan, hingga ada satu perbincangan yang membuat hatiku terperanjat bukan kepalang, kata ayah,” pak Kyai, saya titipkan rindu untuk dididik di sini, baik buruknya saya serahkan segalanya kepada Kyai, dan saya berwasiat, jika ada jodoh terbaik untuk Rindu putri saya, saya sebagai orang tuanya berserah dan berpasrah kepada kyai, saya yakin keputusan kyai adalah yang terbaik untuk putri saya”. Seperti di sambar petir saat itu, tiba –tiba aku menggigil, dan lemas seketika. Tapi apa mau dikata, itulah yang dikatakan ayahku.                                                          Dua hari berlalu begitu saja, aku mulai mengikuti perkuliahan dan program pesantren, tapi aku belum sempat mengabarkan kepada mas Ron, kalau aku sudah tinggal di cibinong. Hatiku mulai gelisah, resah, dan tak menentu. Aku berusaha mencuri –curi waktu agar bisa mendapatkan izin ke kantor Telkom untuk mengirim telegram kepada mas Ron. Akhirnya kesempatan yang ku tunggu – tunggu itu tiba, aku segera bergegas ke Telkom, dan ku tulis kabar singkat, bahwa aku tinggal di pesantren Al Hikmah Annajiyah, lengkap dengan alamat dan nomor teleponnya. Setelah mengirim telegram itu, rasanya hati ini jadi lega selega – leganya.

             Setelah seminggu ku kirimkan telegram itu, tiba – tiba satpam
Pesantren  menyodorkan sepucuk surat biru yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku berkata kepada satpam,”Pak Satpam, tolong kalau ada surat untukku, jangan di serahkan kepada petugas sensor ya? Plees …. Tolonglah aku, surat – surat itu adalah penentu nasibku, tolonglah……” satpam menjawab,” tenang aja, aku bantu!”. Hubungan jarak jauh yang ku bina seolah tidak ada kendala, dan tak terasa dua tahun berlalu sudah. Tetapi setahun belakangan suratku tak pernah ada balasan, aku mulai gelisah, tak tahu harus berbuat apa? Setiap minggu pasti ku tulis sepucuk surat tanda rindu dan kesetianku, tetapi hingga minggu berganti, bulan berlalu berganti tahun, balasan surat yang ku tunggu tyada kunjung menghampiriku. Kebimbangan mulai merayapi hati kecilku, dalam diam aku termangu air mataku jatuh berderai membasahi pipiku,”apakah mas Ron telah melupakan aku?” “Kenapa musti ada janji? Jika tak dapat ditepati. Mengapa musti ada harapan ? jika tak ada kesetiaan. Mengapa harus ada senyuman ? jika tak dapat hadiahkan kebahagiaan. Mengapa…… mengapa….. dan mengapa ada sejuta kata, jika satu kata tak dapat diwujudkan?”Air mata ini tak jua mau berhenti, sampai – sampai aku tak sadar ada seseorang yang duduk di bangku sebelahku, memandangiku dan terus memperhatikan aku yang sedang menangis, Dia  Boy sahabatku. Melihatku mulai tenang, boy langsung menghampiriku, dan bertanya,”Rindu, kenapa ukhti? Maaf ukhti, bukan maksudku untuk ikut campur dengan urusan pribadi ukhti, tapi aku siap mendengar segala keluh kesah ukhti, mungkin dengan sedikit bercerita mengungkapkan sedikit unek – unek di hati, beban yang menggunung sedikit akan bisa dikurangi, itu juga kalau ukhti gak keberatan, tetapi kalau ukhti keberatan and gak percaya sama aku, ya ……… up to you !!” Akhirnya  aku menceritakan semuanya pada Boy, sejujurnya dan apa adanya. Setelah aku bercerita, Dia hanya berkata,”sabar ya…………”. Ternyata memang sedikit lega setelah mengungkapkan beban di dada. Boy adalah orang pertama yang ku kenal di kampus, walau orangnya sedikit serius, tetapi dia selalu bicara apa adanya dan selalu blak – blakan. Dan Boy adalah orang yang selalu memberi bimbingan mata kuliah agama kepadaku terutama mata kuliah yang berhubungan dengan kitab – kitab kuning.  Aku begitu mengaguminya karena dia selalu selalu sopan dan sangat menghargai perempuan, dia juga bisa memecahkan permasalahan, dan segala pertanyaan yang berhubungan dengan kitab – kitab kuning, lebih dari itu Boy adalah Ketua Senat Mahasiswa, dan  Dia satu – satunya asisten Dosen mata kuliah Fiqih, Hadits, dan lain – lain. Semua mata kuliah itu begitu asing bagiku, tetapi Alhamdulillah Boy mau membimbingku dengan penuh kesabaran. Aku tak pernah mengerti mengapa Boy begitu baik, perhatian, dan selalu membantuku jika aku butuh bantuan, ataupun aku dalam kesulitan. Sampai – sampai banyak temen – temen mahasiswi yang iri dan kadang – kadang marah – marah gak jelas. Bagaimana gak iri? Dia mahasiswa nomor satu di kampusku, Ketua Senat  yang keren, beken,ganteng, IP selalu tertinggi, yaaa…. Jujur aja, aku juga seneng sih bisa deket sama dia”.

            Dua tahun  sudah berlalu, tetapi surat bersampul biru tak jua hadir dihadapanku, aku masih tetap menunggu, aku mulai ragu, dan kebimbangan merasuki seluruh nadi dan aliran darahku. Walau begitu, aku tak pernah dapat menghapusnya dalam memori ingatanku, bahkan melupakannya aku tak mampu, apalagi untuk  membencinya. Meski hari – hariku selalu biru, tetapi aku selalu terhibur dengan kehadiran Boy yang selalu bisa membuatku tersenyum. Dalam harapku yang semakin panjang, menunggu tanpa batas penentu, boy hadir dalam sosoknya sebagai guru prifatku yang selalu memberi dorongan dan perhatian, walau terkadang agak berlebihan.  Herannya ketika mengajar terlihat serius dan angker, jarang tersenyum, dan yang paling ekstrim, aku diwajibkan menghafal materi – materi yang diajarkan kepadaku. Mulai dari 10 lembar hingga 200 halaman. Subhanallah…… !! alhamdulillah dalam waktu singkat aku dapat menghafal semua materi itu. Gak tahu kenapa aku begitu ngeri kalau Dia mengajar, kemudian mengetes hafalanku, rasanya aku takuuuut banget kalau gak hafal. Jika belajar sudah usai, wajahnya serta merta berubah dengan sedirinya, menjadi orang yang manis, penuh canda, dan paling asik diajak ngobrolnya. Tapi, cowok satu ini jarang sekali menatap wajahku kalau bicara, paling – paling hanya sesekali mencuri – curi pandang, bersalaman saja gak pernah menyentuh jari – jariku, cukup dari kejauhan merapatkan kedua telapak tangan di depan dadanya. Pada suatu hari aku dan teman – teman termasuk Boy mengikuti seminar di IAIN   Jakarta,  kami sedang asyik ngobrol di pinggir jalan sambil menunggu bis yang datang, karena asyiknya, aku gak sadar kalau dari arah samping ada bis yang melaju kencang sekencang – kencangnya, nyaris menabrakku, tetapi spontan barlari memegang tangan dan memelukku kearah yang lebih aman. Rupanya Dia gak sadar memelukku, mukanya langsung merah, kemudian dia bilang,”maaf, aku gak sengaja”, sambil memegang kepalanya dia berkata lagi,” ma’af aku gak sengaja, sungguh ukhti, aku gak sengaja”. Aku langsung menjawab,”ya aku tahu, terimakasih antum sudah menolongku”. Ku lihat Dia begitu salah tingkah sejak saat itu, sepertinya serba salah dan lebih banyak diam dan sesekalai saja mengomentari pembicaraan – pembicaraan kami.

          Magrib aku baru sampai di asrama, rasanya sudah lelah sekali, setelah membersihkan diri, dan kemudian shalat magrib, ku buka mukena lalu menghamburkan diri ke tempat tidur. Tiba – tiba aku teringat kejadian tadi pagi, ada pertanyaan yang di relung hati,”jika orang lain yang mengalami hal itu, apakah Dia akan melakukan hal yang sama? Sikapnya kadang sedikit aneh, kalau aku deket – deket dan bercanda dengan temen cowo, sepertinya Dia cemburu, tiba – tiba diam dan gak mau bicara padaku, kalau aku sakit, dia adalah orang pertama yang paling khawatir, dan langsung mengantarku ke rumah sakit. Jika aku kesulitan dalam pelajaran, dia juga orang yang paling perduli degan keadaanku. Apa artinya semua ini? Kenapa aku baru sadar jika sudah sejauh ini aku bergantung dan selalu mengandalkannya dalam segala situasi. Aku juga baru sadar, dimana ada aku, di situ ada  Boy, begitu juga sebaliknya. Apa artinya semua ini? Tapi, kenapa Boy gak pernah bilang apapun, ataupun mengutarakan perasaannya padaku. Aaaaaaahh……. Mungkin ini hanya perasaanku saja, padahal Boy biasa – biasa saja”. Keesokan harinya, sebelum masuk kelas aku minum di kantin, dan seperti biasa pula Boy menyusulku ke kantin. Dari kejauhan ku lihat wajahnya, dan kulambaikan tanganku, dan Boy menghampiriku, “assalamualaikum, apa kabar?”katanya. “waalaikumsalam, Alhamdulillah baik”, jawabku”. Gak tahu kenapa aku sedikit salah tingkah dan agak keki, aku gak berani melihat wajahnya, aku menunduk terus. “ Ukhti kenapa?”tanyany, aku hanya menggelengkan kepala. “ukhti marah sama saya?” aku tetap menggelengkan kepala. “lalu kenapa? ada apa? Jawab ukhti.” Aku masih tetap diam, aku bingung mau mulai dari mana pembicaraan ini. “Boleh aku bertanya ? tapi jangan marah ya?” dia menjawab,”insyaallah aku tidak akan marah.” Dengan sangat hati – hati aku mulai bicara padanya,” ma’af Boy sebelumnya, aku lancang menanyakan ini, eemmm…… kenapa sih antum begitu baik sama aku?, kenapa sih antum begitu perhatian ? dan kenapa antum menyelamatkan aku kemaren? padahal di sana tidak hanya aku perempuan yang nyaris tertabrak bus itu. Padahal aku tahu, antum bukan apa – apaku, pacar bukan, saudara bukan, dan selama ini aku rasa kamu begitu berlebihan baik kepadaku, aku takut semakin banyak jasa – jasa antum, dan aku takut semakin bergantung kepada antum. Dia hanya menjawab,”aku ikhlas melakukannya, apa aku salah?” sejenak aku terdiam, dan ku katakana padanya,” tolong jawab dengan jujur, apa maksud dari semua ini?” dia menjawab dengan penuh hati – hati “ ukhtiku…….., ma’af, saya rasa kita ini sama – sama dewasa, tentu ukhti sudah mengerti dengan semua sikap saya, ma’af sekali lagi, ungkapan terkadang sangat menyakitkan, janji terkadang menjadi sebuah hutang jika dipungkiri, saya tidak berani berjanji karena takut tidak bias menepati. Fikirkan kata – kata saya baik – baik, fahami, dan beristikhorohlah untuk semua ini”.  Tiba – tiba jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, kami segera ke kelas untuk mengikuti perkuliahan. Di kelas aku hanya diam, sedikit berfikir apa yang di katakan Boy tadi di kantin, antara percaya dan tidak percaya. Dalam benakku juga ada mas Ron yang sudah dua tahun tak member kabar apapun kepadaku. Dalam hati aku berkata,”aku harus bagaimana?” tiba – tiba aku terkejut,”sssttt…… eh, waktunya belajar, jangan ngelamun terus,”kata temen sebangkuku.

          Malam telah larut, mata ini tak mau terpejam juga. Aku bangun dari peraduanku, ku basahi keningku mengambil air wudlu, dan ku hamparkan sajadah beludru, kemudian shalat sunat mutlak dua rakaat, setelah itu baru shalat istikhoroh. Sebait do’aku,” duhai Allah Robbi Robbul Izzati , zat yang Maha lembut yang mengetahui segala rahasia manusia, tunjukkanlah mana yang terbaik untukku, jika memang mas Ron yang terbaik untukku, maka pertemukanlah aku apapun caranya,  dan apapun jalannya walau itu seolah tak mungkin bagi perhitungan manusia, tetapi Engkau segala – galanya wahai Zat yang selalu memberi pertolongan dan kemudahan. Akan tetapi jika memang Dia bukan terbaik untukku, hamba mohon jangan pernah Engkau pertemukan aku dengan Dia dalam keadaan apapun. Robb….. zat yang Maha Menatap, jika Boy memang Engkau pilihkan untukku, dan memang Dia yang terbaik untuk hidup dan akhiratku, maka bukakanlah jalan untukku dan untuknya, dalam kesulitan aka ada kesenangan, dalam cobaan aka ada jalan keluar, dalam pertemuan akan ada kebahagiaan. Ya Allah Zat yang Maha Penyayang, berikanlah aku kekuatan dan kelapangan dada untuk menerima semua yang Engkau takdirkan, kabulkan do’a – do’aku, amiin. Setiap habis shalat fardlu ataupun sunat, aku selalu membawa sekelumit do’aku keharibaan sang kholiq, karena aku tahu berdo’a tidak seperti makan cabe, begitu di makan langsung terasa pedesnya.  Setelah pembicaraanku tempo hari dengan Boy, aku agak sedikit menghindar darinya, karena  takut hatiku akan berat sebelah. Tak terasa seminggu sudah berlalu, sehabis perkuliahan, aku langsung ke toko roti karena ibu Kyai menyuruhku membeli roti untuk persiapan sarapan pagi. Begitu aku datang ke rumah pak kyai untuk mengantar roti, tiba – tiba pembantu di rumah Kyai bilang,”mbak, ada yang ngelamar tuh di ruang tamu”, aku menimpalinya dengan senyum saja, karena memang gak pernah ngerasa akan di lamar seseorang, kemudian mbak Nur berkata lagi,”mbak, ada yang ngelamar sampeyan”, “ ngelamar apaan sih mbak?” “ sampeyan di lamar sama temen sampeyan yang namanya si Boy…. Ya…. Boy …. Itu lho mbak……!!” seketika aku membalikkan muka dan berteriak,”apa?! “yang  bener  mbak!” “masak  aku  bohong  to mbak…. Mbak…..” setelah Boy permisi pulang, dan berpamitan kepada pak Kyai, tiba – tiba aku di panggil ke dalam oleh bu Kyai dengan bahasa Jawa yang khas,”mbak Rindu, mreneo, sampeyan di timbale pak Kyai,” injeh bu”, jawabku. Di situlah pak Kyai bicara singkat bahwa ada seorang pria yang melamarku, dan intinya pak Kyai menerima lamarannya, karena menurut beliu pria tersebut sholeh, tetapi Beliau member syarat kepada pria tersebut, kalau ingin menikahi aku sampai perkuliahanku selesai dulu, Beliau jiga menyebutkan pria tersebut, Boy, teman kuliahku. Aku kaget bukan kepalang, gak nyangka, dan gak bisa berkata apa – apa. Setelah itu pak Kyai masuk ke dalam, dan aku kembali ke asrama. Dalam hati aku terus bertanya,”apakah ini jawaban dari do’a – do’aku?” ya Allah…… apakah dia jodoh yang Engkau pilihkan untukku?” Rasanya aku tak dapat menahan haru, air mataku jatuh satu – satu.

            Pagi ini begitu cerah, terasa indah, ada kebahagiaan dalam kalbuku, mungkin wajahku langsung sumringah karena senyumku selalu di kulum. Aku berjalan keluar asrama, ingin menghirup udara segar, dan menatap mentari yang mulai beranjak memanasi bumi ini. Tiba – tiba ada yang memanggilku.”Rindu…… Rindu …….. “ aku mencari sumber suara tersebut, setelah ketemu, eh ternyata satpam pondok,” ada apa pak?”, tanyaku. Dia hanya menyodorkan surat berwarna biru kepadaku. Tanganku gemetar menerima surat itu, setelah menerima surat itu aku bergegas dan agak berlari – lari masuk  ke dalam kamar asramaku. Dengan berbagai rasa berkecamuk dalam dada,bingung,serta gelisah, dengan rasa tak menentu ku buka perlahan surat itu. Ada secarik kertas dan sepuluh lembar foto, aku tak kuasa lagi, air mata ini berderai, dan perlahan ku baca kata – demi kata

Rindu kekasihku,

          Harus dengan  kalimat apa ku katakan maafku padamu, karena telah dua tahun lebih aku mengabaikanmu, tanpa kabar berita yang mungkin ini menyakitkan dan berat untukmu. Jika manusia diperbolehkan bersujud kepada manusia, aku akan bersujud kepadamu memohon maaf, dan kembalikan rindu dan cintamu untukku. Sungguh, setiap waktu hanya ada wajahmu,  seluruh kepolosanmu, kejujuranmu, dan apa adanya dirimu yang tak pernah ku temui pada perempuan lain selainmu.

           Jangan pernah berprasangka padaku, karena itu menyakitiku. Seminggu yang lalu kantorku pindah ke Ibu Kota, jadi semua berkas dibereskan tanpa sisa, dalam tumpukan itu ku temukan satu kardus yang sangat berbeda dengan kardus yang lain, tiba – tiba aku penasan ingin membukanya. Rindu kekasihku……. Itulah surat – surat yang kau kirimkan kepadaku, tetapi tak pernah sampai ke tanganku. Ku baca satu – satu surat itu, ku tahu seluruh rasa di hatimu, kesabaramu tak pernah habis dan terkikis oleh waktu karena kau masih menyisakan cinta dan menunggu secercah harapan dariku. Rindu cintaku……jangan pernah habiskan ma’afmu untukku, karena aku masih mas Ronmu yang dulu, dan akan tetap meminangmu untuk menjadi Ratuku.
Rindu kekasihku………………..   bicaralah, jangan diam membisu. Katakan bahwa masih ada cinta yang tersisa untukku, walau ku tahu kecewa di hatimu. Rindu…….. ku sudah mampu membangun sebuah istana untukmu, aku kini telah mapan. Dengan segala kerendahan hati, kesungguhan, keseriusan yang serius ku ingin meminangmu, bersediakah engkau menjadi istriku………….???? Ku harap engkau akan mengiyakanku. Ma’afkan aku karena kau cintaku.

Borneo, 5 September 2000

Sayang selalu,
Ron kekasihmu.                                                                                                                                            

            Aku tak dapat berkata apa – apa, tubuhku seketika lemas lunglai, hanya air mata yang dapat berkata – kata. Aku bingung musti berbuat apa, aku duduk dan termangu, lamaaa dan tak berbuat apa – apa, aku tak dapat berfikir lagi. Lalu aku bergegas mengambil air wudlu, ku gelar sajadah beludru, aku bersujud dan memohon kepada Allah Zat yang menentukan hidup manusia, “ Ya Allah ya Rob, jika masih ada secercah harapan untuk satu pilihan terbaik untukku, tunjukkanlah jalan-Mu, berikanlah kekuatan itu padaku, pilihkan untukku yang terbaik di antara yang baik”. Setelah itu aku beranjak bangun, berganti pakaian dan kuikuti langkah kakiku, sampai di persimpangan jalan ada kantor Telkom, aku berdiri lama, belum tahu mau apa. Ku ucap Bismillah….. ku buka kantor Telkom, ku kirimkan warta kepada mas Ron, agar segera meneleponku, jika telegramku telah datang. Setelah itu aku langsung pulang ke asrama. Dua hari kemudian aku di panggil ke ruang penerimaan telepon santri, katanya ada yang meneleponku dari Borneo.  Sampai di ruangan itu, aku menunggu dengan berbagai perasaan tak menentu. Tiba – tiba dering telepon mengejutkanku, ku angkat gagang telepon dengan hati – hati, “ assalamualaikum…….,” di jawab,” waalaikumsalam, hallo Rindu, apa kabar,” suaranya begitu riang, membuatku semakin tak dapat berkata – kata. “Alhamdulillah, baik,” jawabku lirih. “Rindu, bicara dong….! Gak seneng ya mas telepon?” hanya terdengar isak tangisku,” Rindu, bicara sayang, ada apa?” mas jadi bingung kalau begini”. Aku masih terisak dan belum bisa berkata apa – apa, ku tarik nafas panjang mencoba untuk lebih tenang, setelah itu aku mulai berbicara walau terbata – bata, “mas…….. ma’afkan aku ya? Rasanya aku gak sanggup berbicara, ma’afkan aku, kemaren lusa ada seseorang yang telah meminang aku ke pak Kyai, dan pinangan tersebut sudah di terima, kenapa dulu mas gak ada keberanian untuk itu?!” lalu di jawab.” Gak ada keberanian karena aku belum punya apa – apa yang bisa dibanggakan sayang…..,” aku makin terisak mendengar suaranya, dia bilang,” aku akan tetap pergi ke Jakarta sabtu besok, karena aku sudah pesan tiket pesawat untuk perjalanan Borneo – Jakarta pulang pergi,” aku begitu terkejut dengan kata – katanya, rupanya dia serius dan gak main – main. Aku bingung harus berkata apa, dengan berat hati ku katakana,” ma’afkan aku, tolong jangan datang ke Bogor”. Dia jawab,”aku mohon sayang…… dia mulai menangis, izinkan aku untuk ke Bogor, walau ini berat, aku relakan engkau untuk orang lain, tetapi aku mohoooon……… izinkan aku untuk menemuimu walau hanya sebentaaar saja untuk terahir kalinya, aku mohon sayang, sebentaaaar saja,” isak tangisnya membuat ku tak mampu berkata apa –apa lagi , selain ikut menangis, dan aku semakin tak kuasa untuk bicara, walau begitu berat tetap ku katakan ,”sudahlah mas, ma’afkan aku ya? Jangan berharap lagi karena aku sudah menjadi milik orang lain”. Dia menjawab dengan isak tangis,”ia aku tahu, aku terima, satu kata yang selalu ku ucapkan padamu, ku titipkan cintaku pada lembayung, dan jika engkau bersedih sayang, buka jendela kamarmu, akan ada lembayung warna warni di langit biru, dan aku akan selalu menjagamu”. “ Aku akan tetap ke Jakarta karena ada urusan kantor, dan aku akan ke Bogor menemuimu walau hanya semenit saja, aku ingin melihat senyummu.” Aku tak kuasa lagi, kututup gagang telepon dan aku menangis sejadi – jadinya. Telepon terus bordering, aku tak kuasa mengangkatnya lagi,” ya Allah tolonglah hambamu ini”. Semua tulang – tulangku serasa lepas dari raga, tubuhku menggigil dan tiba – tiba demam tinggi, aku tak kuasa lagi untuk berdiri, dan tak terasa semua menjadi gelap, aku terkulai tak sadarkan diri. Tiga hari aku sakit, dan di rawat di rumah sakit. Saat itu Boy mengunjungiku di Rumah Sakit, dan Boy bertanya, “Apa yang Rindu rasakan ?” aku hanya menggeleng – gelengkan kepala. Lalu Dia berkata lagi,” ada apa?! Ungkapkan segala perasaan ukhti, aku akan menjadi pendengar setia”. Kemudian aku bercerita kepadanya tentang surat dan segala pembicaraanku lewat telepon dengan mas Ron, Dia mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian, setelah aku selesai bercerita, Dia berkata,”padahal biarin aja mas Ron datang ke Jakarta , beri kesempatan silaturohim dengan Pak Kyai, dan biarkan pak Kyai yang menentukan sendiri memilih aku atau Dia”. Aku hanya berkata lirih,” aku tak ada keberanian untuk itu”. Kata terakhirnya,”cepet sembuh ya?”aku segera ke kampus, harus memberi materi kuliah, dosennya gak bisa hadir”.”Assalamualaikum……”, waalaikum salam,”jawabku.

           Hari – hari begitu panjang, dan gak mudah untuk melewatinya. Sampai ku dengar kabar yang mengejutkan bahwa pesawat yang ditumpangi mas Ron ke Jakarta  setahun yang lalu, naas dan terbakar, menurut kabar yang ku dengar seluruh awaknya tidak ada yang selamat termasuk mas Ron,”innalillahi wainailaihi Roji’un……”. Kembali hatiku terhenyak oleh duka, tetapi kesibukanku di kampus sedikit menghiburku, sampai pada akhirnya aku menyelesaikan perkuliahan dan skripsiku. Alhamdulillah akhirnya sampai juga perjuangan yang melelahkan ini. Sampai pada bulan September, tepatnya tanggal 14 tahun 2002 aku menikah dengan Boy. Dan pagi itu ada lembayung yang menghiasi langit biru, seolah mas Ron ikut menghadiri pernikahanku.
                                                                           
SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar